Sabtu, 27 Oktober 2012

Penyelesaian Sengketa Perdata yang Timbul dari Perjanjian kontrak Kerja Kontruksi


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar belakang
Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain berperan mendukung berbagai bidang pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Jasa konstruksi nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya dalam pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
Keandalan tersebut tercermin dalam daya saing dalam kemampuan menyelenggarakan pekerjaan konstruksi secara lebih efisien dan efektif, sedangkan struktur usaha yang kokoh tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antara penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum spesialis, dan terampil, serta perlu diwujudkan ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna Jasa dengan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban.
Dewasa ini, jasa konstruksi merupakan bidang usaha yang banyak diminati oleh anggota masyarakat di berbagai tingkatan sebagaimana terlihat dari makin besarnya jumlah perusahaan ya bergerak di bidang usaha jasa konstruksi.
Dalam rangka menjalankan cita-cita tersebut maka lahirlah suatu Perjanjian Kerjasama atau lebih dikenal dengan istilah Perjanjian Kontrak Kerja Kontruksi. Kontrak Kerja Kontruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dengan penyedia jasa dalam meyelenggarakan pekerjaan konstruksi ( Pasal 1 angka (5) Undang-Undang nomor.18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi).Kontrak ini dilakukan karena adanya pertimbangan bahwa didalam melaksanakan Kontrak timbul sebuah hubungan yang saling menguntungkan antara Penyedia Jasa dengan Pengguna Jasa. Orang atau sebuah perusahaan dapat berusaha dan bekerja dimanapun tanpa adanya halangan, yang penting dalam menghadapi kopentitor secara kompetitif, suatu hal yang sering dihadapi dalam keadaan situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa. Dalam hal ini sengketa dapat berwujud sengketa antar sesama rekan bisnis maupun antar perusahaan yang terlibat didalam perjanjian tersebut. Selain hal tersebut pada kenyataannya bahwa mutu produk, ketepatan waktu pelaksanaan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia, modal dan teknologi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena persyaratan usaha serta persyaratan keahlian dan keterampilan belum diarahkan untuk mewujudkan keandalan usaha yang professional serta pekerjaan konstruksi yang berteknologi tinggi belum sepenuhnya dapat dikuasai oleh usaha
Sengketa yang timbul dalam kehidupan manusia yang modern dan komplek ini perlu untuk diselesaikan. Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut ?. cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang yang pekerjaannya dan tugasnya memang menyelesaikan sengketa tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka timbul masalah sebagai berikut :
1) Badan atau Lembaga mana yang berwenang meyelesaikan sengketa perkara perdata yang timbul dari Perjanjian Kontrak Kerja Kontruksi ?
2) Jenis-jenis sengketa perdata yang timbul dari Perjanjian Kontrak Kerja Kontruksi dan cara penyelesaiannya ?
C. Tujuan
Diharapkan dengan adanya penulisan makalah ini maka dapat memberi pengetahuan lebih kepada teman-teman sesama mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya tentang “Penyelesaian Sengketa Perdata yang Timbul dari Perjanjian Kontrak Kerja Kontruksi”.










BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A. Lembaga yang Berwenang Meyelesaikan Sengketa Perdata yang Timbul dari Perjanjian Kontrak Kerja.
Walaupun pembuatan kontrak didasari oleh itikad baik dari para pihak,pasal mengenai hal ini harus diatur sebaik mungkin untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa mengenai kontrak tersebut.
Menurut pasal 36 ayat 1 undang-undang no 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi, penyelesaian Sengketa konstruksi dapat diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Hal ini didasarkan pada pilihan yang telah disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam perjanjian kerja konstruksi, yaitu melalui :
a.Badan Peradilan (Pengadilan),atau
b.Arbitrase (Lembaga atau Ad Hoc),atau
c.Alternatif penyelesaian Sengketa (konsultasi,negosiasi,mediasi,konsiliasi).
Apabila kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut tidak berhasil, hal ini sesuai dengan rumusan pasal 36 ayat 3 undang-undang nomor 8 tahun 1999.
Jadi dalam penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerja konstruksi, dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu :

a.Penyelesaian Melalui Pengadilan
Karena pada hakikatnya kontrak kerja konstruksi dituangkan dalam suatu kontrak tertulis yang mana hal tersebut juga tunduk pada hukum perjanjian dan hukum perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,maka penyelesaian sengketa tersebut mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia.Hal ini juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan konstruksi Pasal 23 ayat 6 yang menyebutkan bahwa kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal penyelesaian sengketa dipilih melalui pengadilan atau secara litigasi, maka menurut pasal 40 undang-undang nomor 18 tahun 1999, tata cara pengajuan gugatan harus mengacu pada Hukum Acara Perdata.
Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak,satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Sedangkan dalam Laporan Hasil Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman tanggal 21-23 Desember 1981 di Yogyakarta,bahwa hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum perdata material.
Pada prinsipnya penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi ini sama pada hakikatnya dengan penyelesaian sengketa di pengadilan umumnya yang diawali dari adanya gugatan,upaya hukum biasa,upaya hukum luar biasa,dan pada akhirnya putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht).
Sependapat dengan Ir.Nazarkhan Yasin yang menyebutkan bahwa seiring perkembangannya dalam bidang usaha,penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini kurang diminati dimana dunia usaha merupakan dunia yang bergelut dengan waktu yang mana waktu sangatlah berharga bagi pelaku usaha sehingga penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi melalui lembaga peradilan dirasa kurang sesuai karena proses penyelesaian sengketa tersebut berlangsung lama dengan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.
Beberapa kritik umum yang sering menjadi alasan lembaga peradilan tidak terlalu diminati dalam penyelesaian sengketa perjanjian kerja kontrak konstruksi, antara lain:
1. Penyelesaian sengketa lambat
2. Biaya perkara mahal
3. Peradilan tidak tanggap
4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah
5. Kemampuan para hakim bersifat generalis

b.Penyelesaian diluar pengadilan
Menurut pasal 49 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara :


a. melalui pihak ketiga yaitu :
1. Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara satu pihak tertentu, yang disebut dengan  “klien” dengan pihak lain yaitu konsultan. Pihak konsultan ini memberikan pendapat kepada klien untuk memenuhi kebutuhan klien tersebut.Dalam jasa konstruksi, konsultan berperan penting dalam penyelesaian masalah-masalah teknis lapangan terlebih apabila konsultan tersebut merupakan konsultan perencana dan atau konsultan pengawas proyek.
2. Negosiasi
Pada dasarnya negosiasi adalah upaya untuk mencari perdamaian diantar para pihak yang bersengketa seseuai pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya dalam pasal 1851-1864 BAB ke delapan belas  BUKU III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang perdamaian, terlihat bahwa kesepakatan yang dicapai kedua belah pihak yang bersengketa harus dituangkan secara tertulis dan mengikat semua pihak. Perbedaan yang ada dari kedua aturan tersebut adalah bahwa kesepakatan tertulis tersebut ada yang cukup ditandatangani para pihak dengan tambahan saksi yang disepakati kedua belah pihak.Sedangkan yang satu lagi, kesepakatan yang telah diambil harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan sebelum proses sidang pengadilan atau sesudah proses sidang berlangsung, baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan ( pasal 130 HIR )

      3. Mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga    Alternatif Penyelesaian Sengketa);
Yang dimaksud mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
Pengertian mediasi menurut Priatna Abdurrasyid yaitu suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yg mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yg bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Hal penting dalam penunjukan mediator ini mengacu pada pasal 50 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 adalah bahwa mediator yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa.Seorang mediator yang ditunjuk harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh lembaga (Pasal 50 ayat 3).Mediator bukanlah seorang yang mengambil keputusan.Menurut pasal 50 ayat 5 Mediator bertindak sebagai fasilitator yaitu hanya membimbing para pihak yang bersengketa untuk mengatur pertemuan dan mencapai suatu kesepakatan.Kesepakatan yang dicapai dalam mediasi ini dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis (pasal 50 ayat 6).
 4. Konsiliasi;
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak menjelaskan secara ekspilsit apa itu yang dimaksud dengan konsiliasi.Menurut Black’s Law Dictionary menyebutkan bahwa Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic manner used in courts before trial with a view towards avoiding trial and in labor dispute before arbitrarion. Court of Conciliation is a court with propose terms of adjusments, so as to avoid litigation. Yang mana bisa diartikan konsiliasi adalah penyesuaian dan penyelesaian sengketa dengan cara damai,secara baik,digunakan di pengadilan sebelum sidang dengan pandangan mencegah pemeriksaan pengadilan dan dalam sengketa perburuhan sebelum arbitrase. Pengadilan Konsiliasi adalah pengadilan dengan syarat yang diusulkan penyesuaian,sehingga untuk menghindari litigasi.
5. Arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase Ad Hoc.
Selain penyelesaian dengan sarana mediasi dan konsiliasi, cara lain yang dapat ditempuh dalam penyelesaian sengketa perjanjian kerja konstruksi adalah dengan cara arbitrase. Menurut Victor M. Situmorang, yang dimaksudkan dengan perwasitan atau arbitrase adalah suatu perdamaian di mana para pihak/pihak-pihak yang terlibat bersepakat untuk/agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh pihak sendiri yang putusannya mengikat bagi kedua belah pihak .
Di Indonesia, pengaturan mengenai arbitrase telah diatur secara tersendiri dalam undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrae dan alternatif penyelesaian sengketa. Menurut pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor 30 tahun 1999, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Sehubungan dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrse, hal ini harus dijelaskan dengan tegas dalam kontrak kerja konstruksi, arbitrase apa yang dipilih (lembaga atau ad hoc), termasuk pula peraturan prosedur yang dipakai untuk menghindari persepsi yang berbeda antara para pihak yang dapat menjadi benih sengketa yang baru.
Penuangan klausula mengenai arbitrase ini, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam pasal 1 ayat 3 undang-undang no 30 tahun 1999, yang menyatakan Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Arbitrase dikatakan merupakan lembaga penyelesaian favorit para pihak kerja kontrak konstruksi, dikarenakan memiliki beberapa unggulan daripada lembaga peradilan. Beberapa arti penting dari lembaga arbitrase, antara lain:
a. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat
b. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak
c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak
d. Putusan arbitrase dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang besangkutan. Sifat rahasia pada putusan arbitrase inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha .
B. Jenis-Jenis Sengketa Perdata Yang Timbul Dari Perjanjian Kontrak Kerja Dan Cara Penyelesaiannya.
Sengketa perdata di bidang jasa konstruksi adalah sengketa yang menyangkut perbuatan/ tindakan cidera janji (wanprestasi) antar para pihak yang berkontrak yang erat kaitannya atau sering terjadi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi itu sendiri. Para pihak yang terlibat dalam kontrak kerja konstruksi sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi terdiri atas Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Lebih lanjut dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi , Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada pasal 14 huruf B terdiri dari perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi.
Para pihak sebagaimana yang telah disebutkan di atas,oleh peraturan perundang-undangan yang terkait dibebani hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan terhadap pihak lain. Mengenai hak-hak dan kewajiban dari para pihak dalam kontrak kerja konstruksi, pengaturan hukumnya dapat kita temui diantaranya KUHPerdata dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 29 Tahun 2000 yakni pada bagian ke-4 pasal 15 dan 16 tentang kewajiban dan hak Pengguna Jasa, dan bagian ke-5 pasal 17 dan 18 tentang kewajiban dan hak Penyedia Jasa dalam rangka pemilihan Penyedia Jasa serta kontrak kerja konstruksi itu sendiri.
Dalam kontrak kerja konstruksi tersebut memuat hal-hal apa saja yang diperjanjikan antara para pihak yang berdasarkan pasal 1338(1) KUHPerdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya tidak terkecuali perjanjian dalam bentuk kontrak kerja konstruksi.
Dari adanya rumusan di atas dapat diketahui bahwa pada hakikatnya segala sesuatu yang diperjanjikan menjadi hak dan kewajiban dari para pihak yang membuat perjanjian yang harus dilaksanakan karena telah menjadi sebuah aturan hukum yang mengikat bagi para pihak.
Akan tetapi pada prakteknya didapati kenyataan bahwa tidak jarang pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak pada sebuah perjanjian dalam hal ini khususnya kontrak kerja konstruksi tidak sebagaimana mestinya . Pelaksanaan yang tidak sebagaimana mestinya inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terjadinya sengketa jasa konstruksi yang bersifat perdata karena pihak yang tidak melakukan pelaksanaan hak dan kewajiban  tersebut dinilai wanprestasi.
Berbicara mengenai sengketa jasa konstruksi terkait pelaksanaan kontrak kerja konstruksi sebagian besar sengketa bersifat keperdataan sebagaimana yang permasalahannya diangkat ke dalam makalah ini.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas sebelumnya mengenai pengertian sengketa perdata dibidang jasa konstruksi perlu digaris bawahi bahwa perbuatan wanprestasi atau cidera janji antar para pihak yang berkontrak  tersebut, bisa dilakukan oleh salah satu pihak yaitu Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa, maupun wanprestasi atau cidera janji tersebut dilakukan oleh kedua pihak yang berkontrak.



Klasifikasi Sengketa Kontruksi
a.berdasarkan waktu terjadi
Sengketa perdata terkait kontrak kerja konstruksi berdasarkan uraian waktu terjadinya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 tahapan yaitu:
1. Sebelum kontrak dilaksanakan
2. Selama pelaksanaan kontrak
3. Setelah pekerjaan selesai
Yang mana dari klasifikasi tersebut pada setiap tahapan waktunya sengketa perdata yang terjadi berbeda-beda bentuknya.
1. Sebelum Kontrak dilaksanakan
Sengketa Perdata Jasa Konstruksi pada tahap ini dapat berupa ;
a) Pembatalan kontrak secara sepihak; Merubah Kontrak.oleh Pengguna Jasa.
b) Tidak dilaksanakannya kontrak yang telah ditandatangani dengan alasan tertentu; Mengundurkan diri karena alasan tertentu;Melarikan diri oleh Penyedia Jasa.
2. Selama Pelaksanaan Kontrak
a) Ketidakmampuan membayar hasil kerja Penyedia Jasa; Menyebabkan keterlambatan pekerjaan dengan menunda-nunda persetujuan;Tidak melayani klaim Penyedia Jasa secara tepat waktu; dan Memperlambat Pembayaraan Jasaoleh Pengguna Jasa.
b) Tidak memenuhi jadwal tenggat waktu (terlambat); Tidak memenuhi mutu sesuai spesifikasi; Merubah pekerjaan tanpa izin Pengguna Jasa; Tidak mematuhi perintah Pengguna Jasa; Menyerahkan pekerjaan kepada pihak ketiga tanpa izin oleh Penyedia Jasa.

3. Setelah Pekerjaan Selesai
a) Tidak dilunasinya sisa pembayaran; tidak melakukan pembayaran Penyedia Jasa sama sekali (u/ full finansharing) oleh Pengguna Jasa
b) Penguasaan pekerjaan karena tidak dibayar; tidak diserahkannya manual/ gambar ( as built drawing)
Sengketa yang sebagaimana dipaparkan di atas dapat terjadi dikarenakan sebab-sebab sebagai berikut:
a) Pengguna Jasa tidak memiliki itikad baik, tidak memiliki dana untuk melakukan kegiatan konstruksi, tidak memiliki pengalaman dalam bidang jasa konstruksi
b) Penyedia Jasa tidak memiliki itikad baik, tidak memiliki dana operasi (model kerja) yang memadai, tidak memiliki keahlian dalam bidang jasa konstruksi.
Adapun jenis sengketa yang ditimbulkan oleh Pengguna Jasa sebagai dampak dari  wanprestasinya pihak Pengguna Jasa terkait pelaksanaan kontrak kerja konstruksi berupa :
1. Keterlambatan membayar atau tidak membayar sama sekali (u/ full finansharing)
2. Terjadi kegagalan bangunan atau konstruksi.

b.ingkar janji (wanspretasi) oleh Penyedia Jasa
Sedangkan jenis sengketa yang ditimbulkan oleh Penyedia Jasa sebagai dampak dari wanprestasinya pihak Penyedia Jasa terkait pelaksanaan kontrak kerja konstruksi berupa:

1. Keterlambatan penyelesaian pekerjaan;
2. Pekerjaan di bawah mutu;
3. Pekerjaan di serahkan atau diborongkan kembali ke pihak III tanpa izin Pengguna Jasa.
Selanjutnya, apabila timbul masalah-masalah seperti yang telah diuraikan di atas maka untuk menyelesaikannya dapat melalui jalur litigasi ataupun non litigasi. Dasar hukumnya sebagaimana yang tercantum dalam BAB IX bagian pertama dan bagian kedua Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi pada pasal 36 mengenai ketentuan umum dan pasal 37 mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Berdasarkan ketentuan pasal 36 ayat (1) penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan (litigasi dan non litigasi) berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa para pihak yang bersengketa diberikan hak opsi untuk memilih jalur penyelesaian sengketa, apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan.Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan kosnstruksi sebagaimana diatur dalam KUHP, penyelesaian sengketa dengan jalur di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, termasuk apabilaterjadi kegagalan pembangunan.
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi diluar pengadilan ini dapat menggunakan jasa pihak ketiga yang disepakati oleh para pihak. Pihak ketiga sebagaimana dimaksud dapat dibentuk oleh pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat jasa konstruksi adalah mereka yang merupakan bagian masyarakat dan mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa konstruksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana yang dimaksud dilaksanakan melalui suatu forum atau suatu lembaga jasa konstruksi yang independen dan mandiri.
Untuk lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juncto Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksiserta peraturan lain mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat dilakukan melalui jalur di luar pengadilan. Pada dasarnya penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan merupakan tindakan lebih lanjut atas penyelesaian sengketa jasa konstruksi yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat, dimana nantinya semua proses penyelesaian itu bermuara pada penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase
Dalam hal kasus atau sengketa yang sifatnya kontraktual atau sengketa yang timbul di masa pelaksanaan pekerjaan sedang berlangsung, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat melalui  :
1. Jalur konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara satu pihak tertentu, yang disebut dengan  “klien” dengan pihak lain yaitu konsultan. Pihak konsultan ini memberikan pendapat kepada klien untuk memenuhi kebutuhan klien tersebut.Dalam jasa konstruksi, konsultan berperan penting dalam penyelesaian masalah-masalah teknis lapangan terlebih apabila konsultan tersebut merupakan konsultan perencana dan atau konsultan pengawas proyek.
2. Jalur negosiasi
Pada dasarnya negosiasi adalah upaya untuk mencari perdamaian diantar para pihak yang bersengketa seseuai pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya dalam pasal 1851-1864 BAB ke delapan belas  BUKU III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang perdamaian, terlihat bahwa kesepakatan yang dicapai kedua belah pihak yang bersengketa harus dituangkan secara tertulis dan mengikat semua pihak. Perbedaan yang ada dari kedua aturan tersebut adalah bahwa kesepakatan tertulis tersebut ada yang cukup ditandatangani para pihak dengan tambahan saksi yang disepakati kedua belah pihak.Sedangkan yang satu lagi, kesepakatan yang telah diambil harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan sebelum proses sidang pengadilan atau sesudah proses sidang berlangsung, baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan ( pasal 130 HIR ).
3. Jalur mediasi
Mediasi adalah pihak ketiga (baik peorangan atau lembaga independen), tidak memihak dan bersifat netral yang bertugas memediasi kepentingan dan diangkat serta disetujui para pihak yang bersengketa.Sebagai pihak luar, mediator tidak memiliki kewenangan memaksa, tetapi bertemu dan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan pokok perkara.Berdasarkan masukan tersebut, mediator dapat menentukan kekurangan atau kelebihan suatu perkara, kemudian disusun dalam proposal yang kemudian dibicarakan kepada para pihak secara langsung.Peran mediasi ini cukup penting karena harus dapat menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif sehingga para pihak yang bersengketa dapat berkompromi dan menghasilakan penyelesaian yang saling menguntungkan diantara para pihak yang bersengketa.
4. Jalur konsiliasi
Konsiliasi dapat disebut sebagai perdamaian atau langkah awal perdamaian sebelum sidang pengadilan (litigasi) dilaksnakan, danketentuan perdamaian yang diatur dalam KUHPerdata juga merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan,dengan mengecualikan untuk hal-hal atau sengketa yang telah dieroleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
5. Jalur pendapat hukum oleh lembaga arbitrase
Arbitrase adalah bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan atau sengketa yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian pokok, akan tetapi juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan para pihak dalam perjanjian. Pendapat hukum lembaga arbitrase bersifat mengikat, dan setiap pelanggaran terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract-wanprestasi).Sifat dari pendapat hukum lembaga arbitrase ini termasuk dalam pengertian atau bentuk “putusan”.

Pada dasarnya, penyelesaian sengketa jasa konstruksi banyak mengadopsi beberapa jalur tersebut di atas. Dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi pada saat berlangsungnya pelaksanaan proyek dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai penyerahan pekerjaan I)
a. Penyelesaian sengketa dengan sit meeting (rapat-rapat lapangan )yang dilaksanakan 2 (dua) minggu sekali. Rapat ini dihadiri oleh pengguna jasa, penyedia jasa dan wakil pemerintah bidang konstruksi (untuk proyek pemerintah-instansi teknis). Kesepakatan yang dihasilkan dalam sit meeting ini dibuatkan Berita Acara Rapat Lapangan yang ditandatangani pihak-pihak yang terlibat/ hadir, mengikat semua pihak, serta masuk dalam dokumen pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan. Dengan rapat-rapatlapangan yang bersifat rutin ini diharapkan segala permasalahan yang ada dan yang terjadi dapat diantisipasi.
b. Penyelesaian sengketa dengan arbitrase Ad Hock ( arbitrase voluntier). Cara ini dilakukan manakala penyelesaian sengketa ditingkat pertama (butir a) belum menghasilkan kesepakatan diantara para pihak. Arbitrase voluntier ini dibentuk khusus untuk menyelesaikan sengketa atau memutus sengketa konstruksi tertentu. Karena itu arbitrase voluntier bersifat insidentil dan jangka waktunya tertentu pula sampai sengketa tersebut diputuskan. Dalam praktik konstruksi, arbitrase voluntier ini dapat disebut sebagai Panitia Pendamai yang berfungsi sebagai juri/ wasit yang dibentuk dan diangkat oleh para pihak, yang anggota-anggotanya terdiri dari:
1. Seorang wakil dari pihak kesatu (pengguna jasa) sebagai anggota
2. Seorang wakil dari pihak kedua (penyedia jasa) sebagai anggota
3. Seorang wakil dari pihak ketiga sebagai ketua yang ahli dalam bidang konstruksi, dan disetujui kedua belah pihak.
Hasil keputusan Panitia Pendamai ini bersifat mengikat dan mutlak untuk kedua belah pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa dengan arbitrase institusional, yaitu suatu lembaga permanen (permanent arbitral body) sebagaimana ayat 2 konvensi New York 1958.Arbitrase institusional ini didirikan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.Faktor sengaja dan sifat permanen itulah yang membedakan dengan arbitrase Ad Hock.Arbitrase institusional ini berdiri sebelum sengketa ini timbul.Disamping ituarbitrase ini berdiri untuk selamanya walaupun suatu sengketa telah diputus dan diselesaikan.
Menurut pengalaman, lembaga ini jarang dimanfaatkan oleh para pihak yang bersengketa, disebabkan karena minimal 2 (dua) hal:                                       (1). sengketa biasanya telah dituntaskan pada tahap pertama (butir a – sit   meeting) dan (2) para pihak seolah enggan meneruskan sengketa ketingkat yang lebih tinggi (butir b – arbitrase voluntier dan arbitrase institusioal apalagi jika penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan).
Disisi lain apabila penyelesaian sengketa jasa konstruksi yang dilakukan melalui jalur pengadilan terdpat beberapa batasan-batasan yang perlu diperhatikan sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Dengan diadakannya perjanjian arbitrase sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa jasa konstruksi meniadakan hak para pihak untuk mengajukan sengketa tersebut kepengadilan negeri, dan kepada pengadilan negeri oleh pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diwajibkan untuk menolak dan tidak ikut campur dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi tersebut.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Penyelesaian Sengketa Perdata yang timbul dari Perjanjian Kontrak Kerja Kontruksi dapat diselesaikan dengan 2 cara yakni Litigasi ( dalam pengadilan ) atau Non-Litigasi ( diluar Pengadilan ).
Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur Litigasi mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia.Hal ini juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan konstruksi Pasal 23 ayat 6 yang menyebutkan bahwa kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Sedangkan penyelesaian melalui jalur Non-Litigasi terdapat berbagai alternatif sarana yang disediakan antara lain Konsultasi,Negosiasi,Mediasi,Konsiliasi dan Lembaga Arbittrase. Namun yang paling sering digunakan oleh para pihak yang bersengketa adalah lembaga arbittrase karena Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat,Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak,Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak dan putusan arbitrase dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang besangkutan.
Sedangkan hal atau peyebab terjadinya sengketa perdata dapat diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan waktu kejadian dan ingkar janji (wanprestasi) oleh penyedia jasa kontruksi. Untuk pengklasifikasian penyebab sengketa perdata dalam Perjanjian Kontrak Kerja Kontruksi berdasarkan waktu pelaksanaannya antara lain sebelum kontrak dilaksanakan dapat berupa pembatalan kontrak secara sepihak,Merubah kontrakoleh Pengguna Jasa,dan tidak dilaksanakannya kontrak yang telah ditandatangani dengan alasan tertentu Mengundurkan diri karena alasan tertentu Melarikan diri oleh Penyedia Jasa. Kemudian selama pelaksanaan kontrak yakni Ketidakmampuan membayar hasil kerja Penyedia Jasa,menyebabkan keterlambatan pekerjaan dengan menunda-nunda persetujuan,tidak melayani klaim Penyedia Jasa secara tepat waktu, dan memperlambat Pembayaraan Jasa oleh Pengguna Jasa,tidak memenuhi jadwal tenggat waktu (terlambat), tidak memenuhi mutu sesuai spesifikasi,merubah pekerjaan tanpa izin Pengguna Jasa, tidak mematuhi perintah Pengguna Jasadan menyerahkan pekerjaan kepada pihak ketiga tanpa izin oleh Penyedia Jasa. Serta setelah pekerjaan selesai yakni tidak dilunasinya sisa pembayaran,tidak melakukan pembayaran Penyedia Jasa sama sekali (u/ full finansharing) oleh Pengguna Jasa,penguasaan pekerjaan karena tidak dibayar dan tidak diserahkannya manual/ gambar ( as built drawing).
Sedangkan jenis sengketa yang ditimbulkan oleh Penyedia Jasa sebagai dampak dari wanprestasinya pihak Penyedia Jasa terkait pelaksanaan kontrak kerja konstruksi berupa keterlambatan penyelesaian pekerjaan,pekerjaan di bawah mutu,dan pekerjaan di serahkan atau diborongkan kembali ke pihak III tanpa izin Pengguna Jasa.
2.SARAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka hendaklah para pihak-pihak yang mengikatkan diri dalam Perjanjian Kontrak Kerja Kontruksi bersepakat memuat klausula bila mana terjadi sengketa perdata maka diselesaikan melalui jalur Non-Litigasi ( diluar pengadilan ) karena lebih menguntungan para pihak yang bersengketa dari pada melalui jalur Litigasi yang penyelesaian sengketa memakan waktu relatife lama, biaya perkara mahal,peradilan tidak tanggap putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah dan kemampuan para hakim bersifat generalis.

















DAFTAR PUSTAKA

Buku Referensi
1. Yasin, Nazarkhan. 2004. Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi.PT. Gramedia Pustaka Utama.
2. Prodjodikoro, Wirjono. 1984.Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung. Sumur Bandung.
3. Situmorang, Victor m. .1993.Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata.Jakarta. PT Rineka Cipta
4. Syahrani, Riduan. 1988. Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum.Jakarta.Pustaka Kartini
5.Yasin,Nazarkhan.2006.Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia.PT.Gramedia Pustaka Utama

Peraturan Perundang-undangan
1. Kitab Undang-Undang Perdata
2. Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Kontruksi.
3.  Peraturan Pemerintah Nomor. 29 Tahun 2000 Tentang Peyelenggaraan Jasa Kontruksi

Website Referensi
1.Http:id.wikipedia.org/wiki/mediasi di akses pada tanggal 16 Oktober 2012
2.Http:://fourseasonnews.blogspot.com/2012/04/pengertian-konsiliasi.html diakses pada tanggal 17 Oktober 2012 Cipta.1993.hlm 85
3.http://jurnal.uajy.ac.id/download/8/1/Alternatif%Penyelesaian%20Sengketa%20Jasa%20Konstruksi.pcMirip, diakses pada tanggal 16 Oktober 2012, Pukul 13:15 WITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar